Isu yang sedang hangat dibicarakan di beberapa social media, chat dan forum adalah mengenai lebih banyaknya konten negatif dibanding konten positif. Memang tidak ada cara praktis untuk mendapatkan angka mana yang lebih besar antara positif dan negatif, namun bagi saya rasanya perbandingan keduanya berimbang atau malah lebih banyak yang positif. Konten negatif mendominasi spotlight.
Kenapa konten negatif bisa terasa lebih dominan?
Pembuat konten negatif telah mengalami evolusi yang sangat besar dibandingkan dengan oposisi mereka. Melihat kebelakang 10 tahun, konten negatif bermain di ranah media palsu abal-abal yang kini masih ada, dan dulu mudah untuk dilawan dikarenakan berita mereka yang tanpa basis, sumber maupun legitimasi. Namun dengan makin menumpuknya berita abal-abal selama satu dekade, kini penumpukkan itu menjadi pustaka legitimasi berita palsu kedepannya. Ini ditambah dengan beberapa media konvensional yang melakukan salah pemberitaan karena berita palsu tersebut. Artikel permintaan maaf karena salah sumber terpublikasi namun berita lama tidak di redact (ditarik kembali karena masalah etika).
Konten negatif mulai lebih terorganisir dengan munculnya tokoh-tokoh yang menjadi influencer, dan ini bukan influencer besar. Dengan menggunakan influencer kecil namun bermain di quantity, mereka menyebarkan berita dengan sistem pengulangan yang terorganisir. Jika semua orang membicarakan itu secara terus menerus dalam waktu yang lama, pasti benar. Ini teori lama yang secara efektif digunakan oleh Joseph Goebbels di zaman propaganda Nazi.
Berita negatif semakin menggunakan metode penulisan yang teroptimisasi. Berita negatif tak asal ditulis, namun juga memikirkan faktor SEO (search engine optimization), serta kata kunci (keywords) yang sesuai dengan trend search saat berita dikeluarkan. Hal ini memudahkan bagi algoritma crawling search engine seperti Google dan Bing untuk menemukan mereka. Mereka tak segan menggunakan kata kunci yang ramai dicari agar orang masuk dan membaca konten mereka.
Metode penulisan juga berkembang, sering konten negatif menyamar sebagai konten positif di awal namun dengan penulisan yang berakhir dengan kebalikan dari premise konten. Ini dibuat untuk menggoyahkan persepsi dan lebih mudah diterima.
Terakhir adalah clickbait atau umpan klik yang kerap digunakan untuk headline berita mereka, membuat orang penasaran atau gemes untuk membuka berita tersebut. Hal ini biasanya ditemani oleh gambar yang juga clickbait, seperti gambar yang diberi tanda bulat, atau gambar edit yang kontroversial.
How Do We Fight Back?
Ya sama dengan yang mereka lakukan. Hal utama yang kurang dari penyebaran konten negatif adalah organisasi dan kepemimpinan yang jelas. Saat ini cenderung semua jalan sendiri-sendiri. Pembuat konten positif kerap tidak memperhatikan penulisan kreatif sehingga banyak penulisan terasa kaku. Tidak menggunakan atau membuat influencer guna membuat dan menyebarkan konten positif. Tidak memikirkan pentingnya kata kunci serta optimisasi berita mereka. Semua terpaku pada kata “Viral” yang memiliki umur pendek, namun tidak pernah memikirkan konten hygine dan hub. Di era digital ini manusia cepat lupa karena informasi yang berlebih, selalu ingatkan mereka.
Untuk lebih lanjut mengenai cara melawan konten negatif, hubungi kami di Sinau Academy.